Ketika
terlintas kata ‘Buku’, yang terpikirkan
oleh Antok adalah barang mahal kecuali buku pelajaran wajib dari sekolah atau
lebih dikenal dengan buku paket .
Tinggal di sebuah desa yang merupakan jalur utama penghubung dua kabupaten, tak
lantas membuat keluarganya dengan mudah mendapatkan akses buku. Baginya
memperoleh sebuah buku, membuatnya girang bukan kepalang. Namun sepertinya
hanya fatamorgana di tengah berkembangnya daya khayal anak usia SD ini.
Antok adalah
salah satu dari sekian ratusan anak yang tinggal di sebuah desa yang menjadi
penghubung kabupaten penghasil minyak bumi dan kerajinan ukiran kayu, kabupaten
asal keripik tempe, dan kabupaten yang punya helipad hanya karena Pak Presiden mau meresmikan salah satu entitas
asing panen akan minyak bumi di daerah tersebut. Baginya, tetek bengek minyak bumi
di dalam tanah yang dipijaknya bukanlah sesuatu yang akrab dengannya. Tempat
dia bersekolah sebenarnya termasuk yang cukup bagus di kecamatannya, selain
terletak di pusat kecamatan. Namun, bukan berarti bangunan yang bernama
perpustakaan akan ditemui disini. Para Dewan Guru dan Wali Murid baru saja
bersepakat membangun toilet –mereka sepakat pula ini lebih pentingdan urgent- alih-alih membangun Perpustakaan
bagi anak didiknya. Begitulah cara pandang mereka pada pendidikan buah hati
mereka.
Menyebut kesulitan
ekonomi dalam kehidupan keluarga Antok, rasanya seperti ketika menyebut ‘udara’
dalam ‘bernafas’. Setiap hari selalu dihadapkan dengan pilihan untuk mengisi
perut atau hal lainnya. Tentu saja semua sepakat kalu urusan perut harus
didahulukan, karena meski dalam berpuasa pun selalu ada berbuka, yang tak lain
urusan perut lagi. Begitu pula ketika ibunya dihadapkan pilihan antara
memanjakan imajinasi anaknya melalui buku atau untuk urusan perut, si anak akan
legowo dengan pilihan ibunya. Memangnya ada pilihan lain?
Namun si anak
tidaklah semalang yang dibayangkan. Ibunya cukup cerdas dalam menyediakan
kesempatan si anak dalam mengembangkan imajinasinya. Dalam setiap belanja kebutuhan
bahan pokok, secara khusus beliau berpesan kepada pemilik toko untuk memakai
bungkus kertas dari majalah anak. Saat itu, Bobo
dan Mentari adalah kertas pembungkus yang paling dinanti si
anak. Bagi Sang Ibu, dengan adanya pembungkus ini, barang belanjaan secara
otomatis akan dibongkar begitu Ia datang, tanpa butuh komando. Beliau ikut
tersenyum senang melihat anaknya girang memperoleh lembaran majalah itu.
Mungkin ketika lembaran itu dibaca, sudah lama sejak diterbitkan namun toh
tidak mengurangi euphoria si anak karena bukan majalah tentang gaya hidup.
Lagipula, si anak bukanlah penghamba mode dan tren saat itu. Justru yang
menarik ketika kertas pembungkus tidak menyajikan cerita lengkap, khayalan si
anak akan tergelitik menyelesaikan cerita atau curiosity si anak akan terangsang sehingga selalu berdebar tiap
menerima lembaran bungkus yang baru. What
kind of story will be this time? Begitu kira-kira otaknya berputar seiring
tangannya membuka bungkus belanjaan.
Hari Raya
adalah ketika ibunya mengajaknya berburu kertas bekas untuk bungkus barang
dagangannya di penjual kertas bekas. Disinilah tempat dia mendapat versi utuh
majalah yang akan dihitung dengan satuan kilogram bukannya eksemplar. Terkadang
penjualnya harus melebihi timbangannya agar tak ada halaman yang terpotong,
kalau kebetulan sedang berbaik hati.
Tidak setiap
lembaran dan majalah kiloan tersebut berisi yang dinanti oleh si anak. Paling
sial, ketika ready stock isinya adalah Majalah Jawa, Jayabaya. Kening si anak akan
berkerut-kerut tak karuan untuk menuntaskan sepotong kertas pembungkus. Namun
tetap saja itu dilahapnya, karena hanya itu yang ada.
Minat si anak
benar-benar terpenuhi ketika menginjak jenjang SMP. Sekolah ini memiliki
perpustakaan yang cukup besar dan koleksi buku yang banyak. Saking senangnya dan mungkin sedang masa euphoria,
berbagai jenis ensklopedia mulai dari tentang momen eureka ketika Archimedes bertelanjang bulat sampai berbagai hewan
melata di seluruh dunia diboyongnya di rumah. Entah bagaimana dia berhasil
membujuk penjaga perpusatakaan sampai memperoleh buku yang masuk kategori ‘HANYA
BOLEH DIBACA DI TEMPAT’.
Beruntunglah
kalau sekarang mengakses buku semudah memperoleh permen. Apalagi pilihan
bukunya pun seperti memilih rasa permen, selalu ada yang baru. Sungguh sayang
kalau cahaya pendar dari kotak elektronik itu menyilaukan anak-anak dari
berlembar-lembar imajinasi tak terbatas dalam sebuah buku.
Legenda:
Jayabaya : Majalah berbahasa jawa, kadang ada artikel pakai aksara Jawa
Bobo : Majalah Anak
Mentari : Majalah Anak
0 comments:
Posting Komentar