Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Minggu, 13 Juli 2014

Cacatan Diri: Mungkin ini saatnya kembali.

Share


Siang itu, shaf-shaf masjid masih penuh di bagian dalam ruangan utama masjid di kompleks kantor. Imam sholat mulai beranjak dari duduknya mengambil mikrofon. Siang itu adalah salah satu hari di bulan ramadhan, masjid tak lagi sepi sehabis jamaah sholat. Imam sholat tadi berdiri mendekat di shaf terdepan.
“Jika bapak ibu diminta memilih untuk diuji dengan cobaan atau dengan kenikmatan, bapak ibu pilih yang mana?” ujarnya seusai salam dan mukaddimah.
Imam sholat jamaah yang biasa kita kenal sebagai ustad ini, memulai tausiyah yang memang di bulan ramadhan ini rutin digelar. Ustadz ini tidaklah seperti yang kita kenal, tak berbadan tambun, tak berbaju serba putih, dan tak ada rambut tumbuh subur di dagunya. Namun, ketika  beliau memulai, terlihat menarik untuk disimak.
“Halah gak usah jaim, pasti milih diuji dengan nikmat kan? Tahukah bapak ibu, kalau banyak yang gagal ketika diuji nikmat dan banyak yang berhasil ketika diuji dengan cobaan?”
Saat itu, aku tertegun mendengar argumentasi Sang Ustadz. Qarun, Namrud, dan Fir’aun gagal dalam ujian kenikmatan yang diberikan Tuhan. Mereka diuji dengan nikmat yang luar biasa, mungkin saja. Namun, ketika aku diuji sebagian kecil nikmat itu saja, nyaris berpaling dari sujud kepadaNya. Hari ini, aku tertegun kembali ketika ujian berupa cobaan justru member tamparan keras untuk mengalihkan wajah kembali bersujud.
Ayub, Nabi yang diuji dengan sakitnya yang menahun dan kemiskinannya yang sangat setelah mengecap kekayaan. Bahkan, sang istri memprotesnya karena beliau adalah Nabi, namun tak meminta kepada Allah akan kesembuhannya. Apa jawaban Nabi Ayub?
“istriku, berapa tahun aku diberi sakit ini?”
“Tujuh tahun, suamiku,” Sang Istri menanggapi tak tahu akan maksudnya.
“Dan berapa tahun aku diberi kekayaan dan kesehatan?
“Delapan tahun”
“Rasanya malu, aku meminta pada Tuhanku. Atas nikmat yang telah Dia berikan selama itu, dan aku baru diuji seperti ini sudah meminta kembali nikmatnya?”
Hari itu, Nabi Ayub menunjukan bagaimana beliau lolos dari ujian cobaan yang diberikan Allah tanpa sekalipun mengeluhkan kepada Tuhannya.
Ketika setiap jalan selalu ada tanjakan terjal, kita tentu mengharap semua baik-baik saja. Kita tak boleh gusar ketika menengok tetangga yang meluncur deras. Mungkin, ini jalan paling cepat menuju tujuan. Jalan terbaik yang tak pernah kita perkirakan. Kita hanya bisa berharap mengenai ini.
Hari ini, aku mengiyakan sepenuhnya apa pesan ustadz pada waktu itu. Ketika nikmat yang ada justru memalingkan muka dari sajadah, namun ketika cobaan datang bergantian menamparku untuk kembali menggelar sajadah, membuka kembali kitab 270 halaman yang berdebu, dan kembali duduk bersimpuh di hadapanNya, memohon segalanya. Waktu itu, Allah mencoba mengajariku bersyukur di tengah duka, tetap meminta padaNya dengan segala doa meski semua diberikan di depan mata. Tidak, Allah kini tak mencabut nikmat itu, hanya cobaan lain yang silih berganti mengingatkan. Malu dan rasa salah mengisi di setiap sujud. Bukankah Tuhan selalu menyanyangi kita bagaimanapun jua kita mengingkarinya?
Waallahu a’lamu bi  shawab.
Surabaya, 15 Ramadhan 1435 H




*kisah Nabi ayub merupakan ilustrasi penulis dari mendengarkan tausiyah.

0 comments:

Posting Komentar