Siang itu,
shaf-shaf masjid masih penuh di bagian dalam ruangan utama masjid di kompleks
kantor. Imam sholat mulai beranjak dari duduknya mengambil mikrofon. Siang itu
adalah salah satu hari di bulan ramadhan, masjid tak lagi sepi sehabis jamaah
sholat. Imam sholat tadi berdiri mendekat di shaf terdepan.
“Jika bapak ibu
diminta memilih untuk diuji dengan cobaan atau dengan kenikmatan, bapak ibu
pilih yang mana?” ujarnya seusai salam dan mukaddimah.
Imam sholat
jamaah yang biasa kita kenal sebagai ustad ini, memulai tausiyah yang memang di
bulan ramadhan ini rutin digelar. Ustadz ini tidaklah seperti yang kita kenal,
tak berbadan tambun, tak berbaju serba putih, dan tak ada rambut tumbuh subur
di dagunya. Namun, ketika beliau
memulai, terlihat menarik untuk disimak.
“Halah gak usah
jaim, pasti milih diuji dengan nikmat kan? Tahukah bapak ibu, kalau banyak yang
gagal ketika diuji nikmat dan banyak yang berhasil ketika diuji dengan cobaan?”
Saat itu, aku
tertegun mendengar argumentasi Sang Ustadz. Qarun, Namrud, dan Fir’aun gagal
dalam ujian kenikmatan yang diberikan Tuhan. Mereka diuji dengan nikmat yang
luar biasa, mungkin saja. Namun, ketika aku diuji sebagian kecil nikmat itu
saja, nyaris berpaling dari sujud kepadaNya. Hari ini, aku tertegun kembali ketika
ujian berupa cobaan justru member tamparan keras untuk mengalihkan wajah
kembali bersujud.
Ayub, Nabi yang
diuji dengan sakitnya yang menahun dan kemiskinannya yang sangat setelah
mengecap kekayaan. Bahkan, sang istri memprotesnya karena beliau adalah Nabi,
namun tak meminta kepada Allah akan kesembuhannya. Apa jawaban Nabi Ayub?
“istriku,
berapa tahun aku diberi sakit ini?”
“Tujuh tahun,
suamiku,” Sang Istri menanggapi tak tahu akan maksudnya.
“Dan berapa
tahun aku diberi kekayaan dan kesehatan?
“Delapan tahun”
“Rasanya malu,
aku meminta pada Tuhanku. Atas nikmat yang telah Dia berikan selama itu, dan
aku baru diuji seperti ini sudah meminta kembali nikmatnya?”
Hari itu, Nabi
Ayub menunjukan bagaimana beliau lolos dari ujian cobaan yang diberikan Allah
tanpa sekalipun mengeluhkan kepada Tuhannya.
Ketika setiap
jalan selalu ada tanjakan terjal, kita tentu mengharap semua baik-baik saja.
Kita tak boleh gusar ketika menengok tetangga yang meluncur deras. Mungkin, ini
jalan paling cepat menuju tujuan. Jalan terbaik yang tak pernah kita
perkirakan. Kita hanya bisa berharap mengenai ini.
Hari ini, aku
mengiyakan sepenuhnya apa pesan ustadz pada waktu itu. Ketika nikmat yang ada
justru memalingkan muka dari sajadah, namun ketika cobaan datang bergantian
menamparku untuk kembali menggelar sajadah, membuka kembali kitab 270 halaman
yang berdebu, dan kembali duduk bersimpuh di hadapanNya, memohon segalanya. Waktu
itu, Allah mencoba mengajariku bersyukur di tengah duka, tetap meminta padaNya
dengan segala doa meski semua diberikan di depan mata. Tidak, Allah kini tak
mencabut nikmat itu, hanya cobaan lain yang silih berganti mengingatkan. Malu
dan rasa salah mengisi di setiap sujud. Bukankah Tuhan selalu menyanyangi kita
bagaimanapun jua kita mengingkarinya?
Waallahu a’lamu
bi shawab.
Surabaya, 15 Ramadhan 1435 H
*kisah Nabi ayub merupakan ilustrasi penulis dari mendengarkan tausiyah.
0 comments:
Posting Komentar