Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Jumat, 01 Maret 2013

Malam Sehitam Dasar Gelas Kopi

Share
"gimana jo?" ujarnya sembari memalingkan mukanya ke jalanan.

"Gimana apane rur?" sedikit mengernyitkan alis, mengambil tempat di sebelah orang yang memanggilnya 'jo'.

Bukannya menanggapi kawannya tadi, Pahrur ini cuma tersenyum lihat jalanan sibuk. Jarum kecil jam tangannya saja sudah enggan nunjukin angka sebelas.

"Leganya, sudah jam sebelas saja rur. Selonjorin kaki dulu, sana agak kesana dikit napa"
Dirogohnya saku belakang jins kumal, dan mendapati sebatang gulungan tembakau berlabel 'inovativ' pakai huruf 'v' dibelakangnya.

"Jadi orang kui rur, kayak rokok ini. Inovativ. Sama kayak mobil yang lewat-lewat itu rur."
Jengkel karena yang diajak ngomong dari tadi malah melototin jalanan yang sumpek itu, dia menyulut gulungan tembakau itu. Diolesinya dengan lethek kopi.

"Bahkan menulisnya pun salah, Jo. Itu huruf terakhirnya pakai 'f'' bukan 'v'. Kita orang Indonesia, Jo. Beda juga sama mobil yang lewat itu. Cuma sekedar merk." yang diajak ngobrol akhirnya menimpali.

"Karepmu rur. Maksudnya yang buat rokok kan kayak gitu juga. Dari SD dia sudah nggulung kali, ndak pernah dia tahu apa itu SMP itu. Ya kayak aku gini to rur." dia tersenyum, senyum kecut.
Pahrur ikut-ikutan tersenyum.

"Kalau saja orang-orang penting negara ini berpikiran begitu. Maksudnya buat yang terbaik tanpa berpikir apa prosedurnya, gimana caranya, yang penting hasilnya. Andai saja ya jo."

"ya gak bisa gitu rur, kacau nanti negara ini. Lha wong, semua jadi seenaknya sendiri tanpa aturan." ujarnya sambil perlahan mengisap asap gulungan tembakaunya agak menjauh dari kawannya. Dia tahu betul sebenarnya kalau kawannya tidak suka dengan yang namanya rokok, bukan karena asapnya, karena suatu alasan sentimentil. Setiap ditanya, "hanya masalah prinsip jo. Kalau kita nggak punya, apa jadinya kita. Hanya bangkai berbau busuk tiap kita ngomong.". Dia mafhum akan hal itu.


"Lihatlah itu jo, semua yang berlalu lalang berpikir seolah urusan merekalah yang paling penting. Melebihi urusan negara ini. Lihatlah, saling sikut tak peduli yang disikutnya ibu yang sedang menggendong anaknya yang kritis mau dibawa ke UGD. Semua merasa penting."


Rejo berhenti mengisap rokoknya sejenak, menajamkan penglihatannya ke arah jalanan.
"Ah itu kan sama saja kamu, kalau pagi-pagi sudah mau jam setengah lapan. Takut gajimu dipotong. Aku aja sudah ngobrol sama Pak Haji di serambi Musholla pas kamu masih ngiler di bantalmu. Baik rur Pak Haji itu di tempat kayak gini."


"Ibu itu gak pernah berpikir bakalan ditolak bayinya, yang dia tahu hanya bagaimana senyum anaknya di setiap pagi tetap terkembang. Ah, negara ini ya jo."


"Mau bagaimana lagi rur. Dulu emakku gak pernah pusing soal tetek bengek Jamkes atau kartu sehat atau apalah itu. Aku dulu setep ya dibawa ke Lek Parjan."


"Simpel ya jo Mak Rukmi itu."

"Ya mana bisa rur, emakku suruh ngisi kertas-kertas itu. Coba tanyain uleg uleg, harga cabe sekilo, atau dimana dapat daun kenikir paling top, dia jagonya."


"Haha, paling top dah itu pecelnya. Tapi kalo lihat politisi-politisi itu ngomong di radio kesayangannya, dia pasti sudah maki-maki. Aku saja yang lagi enak-enak sarapan, ikutan disembur"


"Begitulah emakku rur. Paling top. Kayak paling tahu urusan negara ini saja. Padahal dia cuma alergi sama omong kosong, rur. Hahaha.."


Kedua kawan itu sekonyong-konyong tertawa bersamaan. Mengalahkan riuhnya jalanan. Mak Darti, yang punya warung, hanya geleng-geleng lihat keduanya. Seorang adalah kuli bangunan di proyek sebelah warungnya, meski ngutang kalau makan tapi pasti lunas setiap gajian. Anehnya, dia lebih suka ngutang daripada ditraktir kawan di sebelahnya. Bukan gengsi, biar ada semangatnya kalau kerja. Satunya lebih aneh lagi, ngakunya PNS tapi gak pernah pake seragam abu-abu atau batik korpri yang biasa dia lihat kalau ada PNS yang ketahuan mangkir di televisi. Keduanya seolah orang paling pinter di negara ini, pikir Mak Darti.


"Jo, senang pasti rasanya kerjaanmu seharian sudah kelar. Tinggal selonjoran di warung Mak Darti. Ya kayak gitu jo, pas dulu waktu aku selesai sekolah terus bantu angkat-angkat barang di Toko Haji Marno. Sorenya, sambil nunggu magrib sudah dibuatin masakan ibu, tinggal selonjoran sama kamu di sebelah rumah."


"Rur..rur..sawang sinawang. Kamu itu lho kurang apa. Gaji sudah lumayan. Dapat pensiun. Kawin wae sana."


"Begitulah jo. Kadang bukan seperti itu yang dicari. Nggak nyaman jo, dituntut sana sini, bosnya begini, aturannya begitu. Orang ini dilayani begini lainnya begitu. Apa aku bakar saja kantorku itu ya jo?"

"Haha..gendeng kamu rur."

 Keduanya tertawa lagi. Malam itu anak-anak brilian beda nasib saling menyeduh kopinya. Seolah apa yang mereka bicarakan tak kalah seru dengan sekumpulan orang berpakaian parlente di gedung bundar itu. Bedanya, mereka nggak sampai jotos-jotosan kalo berdebat.

2 comments:

  1. Kenapa mas nggak nyoba nulis novel aja?
    ada bakat nulis jangan disiakan lah..
    :)))

    BalasHapus
  2. wah maksih banyak mas, tapi berlebihan sampe novel segala
    Ini tulisan, cocoknya di kertas bungkus kacang, yg daripada dibuang mending jadikan bungkus kacang. :)

    BalasHapus