Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Rabu, 10 Juli 2013

mungkin inilah mengapa mushalla kami ditinggalkan

Share
             Ramadhan datang, mendadak banyak menyambang masjid, surau, dan mushalla. Tarawih meramaikan masjid, mushalla, dan surau di kampung-kampung. Layaknya mushalla lainnya, di tempat kami bersesak orang di tarawih pertama. Tikar digelar di halaman mushalla. Tetangga-tetangga berebut tempat di dalam mushalla. Entah siapa itu namanya, mbak ina, bu Rida, pak Parman, 11 bulan sebelumnya belum pernah kelihatan di mushalla kami, maklumlah kalau Takmir Mushalla kurang begitu mengenalnya. Riuh anak-anak berlarian menyambut tarawih. Sajadah digelar, kipas dan air minum disiapkan. Bingung juga ini ada arisan apa shalat tarawih. Beberapa celingukan nyari imam mushalla yang tak kunjung datang. Kami tetap bersyukur meski ini berlangsung di awal dan akhir bulan Ramadhan. 
             Bagi kami jamaah rutin mushalla ini, kami paham betul imam kami. Beliau rumahnya agak jauh dari mushalla, tapi bahkan makmum cuma seorang pun beliau istiqomah datang. Bagi yang belum terbiasa terlihat gelisah, celingukan, dan ada yang minta diganti saja imamnya. Kami hanya tersenyum menyabarkan mereka. Muadzin dadakan bahkan berinisiatif mengumandangkan iqomah, beruntung urung dilakukan. Bapak-bapak banyak juga mengobrol di teras mushalla, memindahkan kebiasaan mereka yang biasanya dilakukan di warung.
             Bagi kami, beliau imam shalat sekaligus imam tauladan. Keistiqomahan, kerendahan hati, dan ilmu yang beliau ajarkan di setiap kajiannya membuat kami sabar menunggu kedatangannya. Di sekitar tempat beliau tinggal terdapat masjid namun beliau secara khusus diminta mengimami sekaligus mengisi kajian di mushalla kami. Tak seorangpun di sekitar tempat tinggalnya sholat di mushalla kami kecuali istri beliau. Pernah suatu ketika mengisi kajian selepas maghrib, hanya sebiji orang menunggu di mushalla kami. Tidak ada yang berubah dalam penyampaian beliau, detail, lugas, berdasar dari berbagai sudut pandang, dan contoh-contoh nyata dalam kehidupan. Selepasnya beliau beliau mendekat ke satu-satunya yang hadir, meminta apa yang disampaikannya disampaikan pula pada kawan-kawan lainnya.
             Setelah sesaat kemudian banyak yang melongok kearah timur, peci hitam dan sajadah merah di pundak mulai samar kelihatan. Jamaah tetap riuh mengacuhkan, beberapa semakin semangat bershalawat lewat TOA Mushalla. Sebenarnya, shalawatan lewat TOA Mushalla jarang dilakukan pada hari-hari biasa di sebelas bulan lainnya, namun karena Ramadhan terasa spesial hal ini jadi ramai dilakukan.
Sesampainya imam mushalla di mushalla kami, beberapa berinisiatif langsung mengumandangkan iqamah namun dicegah. Kami paham betul kebiasaannya. Sebagaimana biasanya, beliau menggelar sajadah di tempat kosong disekitar makmum untu shalat rawaatib terlebih dahulu. Menjelang salam, muadzin mengumandangkan iqamah disaat mushalla dan masjid lainnya sudah salam. Mushalla berjejal jamaah, kami senang betul melihatnya. Sejenak, kami berdoa dalam hati ini berlangsung di setiap shalat fardhu di sebelas bulan lainnya.
             Selepas isya', tarawih dimulai. Di mushalla ini, beliau memimpin shalat 23 rakaat termasuk witir, berbeda dengan masjid terdekat yang melaksanakan 11 rakaat termasuk shalat witir. Imam mushalla ini tidak sebegitu cepat memimpin shalat sebagaimana di beberapa mushalla lain namun surah-surah yang dibaca diambil surah-surah pendek dalam juz 30 Al-Qur'an. Kata beliau suatu ketika, sebagai imam kita harus paham siapa yang kita imami, jangan menonjolkan kemampuan hafalan.
             Selepas rakaat ke-8, beberapa jamaah mulai menggulung sajadah. Beberapa menggelar kembali di teras mushalla untuk shalat witir, beberapa duduk-duduk di teras menunggu witir yang dipimpin imam, sedangkan anak-anak kecil dan beberapa jamaah sudah bubar duluan keluar mushalla. Jamaah di dalam mushalla nyaris tinggal sepertiganya, kebanyakan jamaah yang sudah sepuh.
Ketika shalat witir dimulai, tampak dua pertiga shaf terisi lagi. Sedangkan mushalla dan masjid lainnya sudah selesai dan mulai terdengar tadarus Al-Qur'an melalui pengeras suara. Selepas shalat ada kue yang sedianya untuk para jamaah yang mengikuti kajian namun habis duluan bersamaan bubarnya jamaah tarawih. Kajian pun dimulai, diikuti sebagian kecil jamaah, senangnya usia mereka beragam, tidak hanya didominasi bapak-bapak dan ibu-ibu paruh baya.
             Sudah agak malam memang saat itu. Itulah mungkin kenapa banyak yang bergumam untuk berpindah shalat tarawih di mushalla lainnya. Lebih cepat, kata mereka. Bahkan rakaatnya pun lebih sedikit. Kami hanya mengelus dada.
             Saya yang masih anak-anak saat itu lebih senang karena ada kue dan wedang jahe di mushalla. Itulah mushalla kami 10 tahun lalu. Imam mushalla itu tak lagi memimpin tarawih dan shalat fardhu lainnya. Sang Khalik memanggilnya sebelum usianya menginjak usia Rasulullah SAW ketika wafat. Mungkin begitulah cara Allah menunjukan sayangNya pada hambanya. Namun, jauh sebelum beliau menghadap Sang Kuasa, mushalla kami tak lagi ramai di bulan ramadhan, apalagi di sebelas bulan berikutnya. Kami bersyukur benar apabila bagian dalam mushalla bisa penuh. Shalat witir hanya diikuti paling tidak dua shaf, itupun mushalla sudah dibagi dua dengan hijab untuk jamaah muslimah. Wafatnya imam mushalla disusul istri beliau. Semakin sepi pula jamaah muslimah, karena beliaulah yang mengajak jamaah muslimah meramaikan mushalla. Begitulah mushalla kami, sekarang hanya terisi 3-4 shaf di bulan Ramadhan dan hijab di tengah mushalla kecil kami. Kami hanya bisa berdoa semoga mushalla kami ramai lagi di 12 bulan di setiap tahunnya dan semoga mushalla-mushalla lainnya tidak menjadi sesepi mushalla ini.




1 Ramadhan 1434 H
Surabaya, 00:48 WIB 

0 comments:

Posting Komentar