Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Kamis, 17 Januari 2013

omong kosong di kala banjir

Share
here I write (again)...!
Tidak ada puisi-puisi absurd dan kata-kata yang tak jelas artinya. Tidak kali ini. Sedikit perspektif berpikir yang mungkin tidak begitu cerdas karena begitulah semua tulisan ini, hanya hidup di dunia imajinasi dimana semua boleh ditulis dan dituangkan. Jangan diambil hati apa yang ditulis, karena semuanya hanya pengetahuan cekak si penulis. Kalau geram, maki saja si penulis dengan sebutan bodoh, pekok, atau nama-nama penghuni ragunan atau KBS. Mudah, bukan? Oiya, kalau menyinggung soal agama atau keyakinan, penulis benar-benar minta maaf karena, sekali lagi, pengetahuan penulis sangatlah cekak.

"Kalau geram, maki saja si penulis dengan sebutan bodoh, pekok, atau nama-nama penghuni ragunan atau KBS. Mudah, bukan?"

Di sudut paling diperhatikan di negara saya, sedang tergenang air. Begitupula tempat tahta sang pemimpin, tempat instruksi disabdakan. Sabda panditaning ratu. Pepatah lama yang mungkin tidak lagi berlaku sekarang ini. Karena toh semua bebas mencaci sang ratu, entah itu brahmana, sudra, maupun waisya. Tapi bisa dibilang tidak dengan ksatria, mereka setidaknya punya semacam code of conduct untuk menaati atasan mereka. Terlepas dari sang pemimpin saat ini dari mereka. Mungkin yang sedang berkuasa saat ini boleh dibilang sang waisya, berebutlah mereka pengaruh -yang tentu saja- untuk kepentingan korporasi mereka. Sang sudra cuma bisa geleng-geleng kepala menyaksikan dagelan yang tak mereka mengerti alurnya. Tapi tentu saja, mereka mengerti apa yang terjadi, tapi tidak yang ada dibaliknya. waallahu a'lam.

 Itu cerita dibalik jalannya (atau mandegnya?) negeri ini. Genangan air rupanya mulai mengotori celana sang pemimpin sehingga harus merelakan kursi tahta yang empuk untuk sejenak merasakan dinginnya air. Sebenarnya itu karena tempatnya berdiri tergenang air, tapi kalau genangan itu ada di tempat antah berantah negara yang dipimpinnya, ya sudah. Kan celananya tidak basah jadi tidak perlu digulung untuk tahu rasanya dingin air. Jangan protes, kalian juga tidak ikut nyumbang dana kampanye, jadi anggota parpolnya, atau bahkan kalian ikut nyoblos pun mungkin tidak. (hehe...becanda!)

Terlintas pula kalau ini sekedar mengikuti trend, semacam trending topic di twitter. Trend itu lho pemimpin yang masuk ke dunia yang dipimpinnya. Katanya, kalu tahu rasanya, pasti bisa dapat solusinya. Aneh. Sejarah pada saat mereka sekolah mungkin hanya pelajaran menghafal. Selesai ujian ya selesai urusan, ctrl+alt+del kalo kata pemimpin di dunia olahraga saat ini. Padahal, ada pemimpin bernama Umar putra seorang Khattab menjadikan hal itu gaya hidupnya. Susah bener hidupnya ya? Konon, pada saat dia memimpin ada dapur umum untuk prajurit perang dan masyarakat umum terutama tunawisma. Nah, semua orang kalau disuruh memilih makan makanan Umar atau dari dapur umum, semua pasti memilih dapur umum. Karena jauh lebih lezat. Umar mengadopsi gaya hidup masyarakat paling bawah yang dipimpinnya. Setiap malam, bersama ajudannya (atau sendirian), beliau berkeliling, tanpa diliput awak media. Tak ada yang tahu kalau sedang dia kunjungi. 

Luar biasa bukan pemimpin di zaman itu. Tak ada dana kampanye saat itu, tak ada partai politik, yang ada malah tanggung jawab yang mereka takuti kala dipertanyakan Sang Pencipta. Mungkin pemimpin sekarang ini, buku sejarahnya sudah usang berwarna kecoklatan dengan staples karatan sehingga melihatnya saja sudah wegah. Atau karena saking sibuknya dengan urusan bernama negara dan korupsi, pikirannya jadi teralihkan dari pertanyaan man robbuka? ketika tanah mulai merata disekujur tubuhnya. Belum lagi kalau ditanya tentang rakyat yang dikuasainya, kekayaan alam negaranya, dan apa yang dilakukannya. Keningnya sudah kehitaman, matanya sudah berkantung, ubannya sudah merata, tapi bukan itu tolok ukur yang ditanyakan suatu saat nanti. Pertanyaan yang sangat ditakuti pemimpin terdahulu yang bahkan friendster  saja mereka tidak punya untuk meraih simpati apalagi twitter. Itu pula yang membuat Umar bin Abdul Aziz justru menangis tersedu-sedu ketika ditunjuk jadi pemimpin bukannya bersujud syukur. Tentunya, beban itu tidak sepatutnya kita biarkan. Kalau hanya menuntut, mengkritik, namun mencaci ketika ada yang salah, dan bahkan ketika sang pemimpin dipertanyakan di depan Sang Maha Kuasa, malah menyalahkan. (emang bisa apa?). Tidak. Tangan beliau hanya dua sebagaimana kita pada umumnya, beliau bukan pula superman, sekedar melipat kertas pun diperlukan negara ini. Tidak hanya caci maki.

6 comments:

  1. Masing-masing dari kita adalah pemimpin kok.
    Kalo yang di foto itu bukan pemimpin, tapi penguasa. Beda.

    BalasHapus
  2. enjih ndoro, maksud e di dua kalimat terakhir ndoro.

    BalasHapus
    Balasan
    1. siap grak. Yen bahas pengetahuan aku ra iso komen. Aku kan modal nyinyir & sok tau :V

      Hapus
    2. mas gita, penulis niku pekok dados e nggih mboten bedo adoh.. re: nyinyir & sok tau

      Hapus
  3. mau pemimpin mau penguasa..
    yang penting dirimu sendiri dulu..
    pimpinlah hati dan otakmu dengan keimanan..
    :)

    BalasHapus