Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Senin, 19 Oktober 2015

Celoteh Gadis Kecil


“Hipokrit dan apatis ah kakak!” teriak ruri cengengesan semari berjalan menuju dapur.
Gadis 5 tahun ini baru saja belajar -atau lebih tepatnya mencuri dengar- dari kakaknya yang sedang membahas buku berjudul “Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran” dengan teman sekelasnya, kelas XI IPS di depan rumahnya. Teman-teman kakaknya hanya bisa melongo, selebihnya ngikik.
Anak gadis ini baru saja membantu kakaknya mengambilkan makanan dan minuman yang dibuat oleh ibunya di dapur untuk tamu-tamu mereka. Ditanya pun, Uwi -panggilan Ruri- tak akan mengerti apa itu yang terucap dari mulut nya, lha wong baru bisa baca. Ya, tak aneh sekarang di usia anak yang sedang seru-serunya itu harus belajar mengeja alfabet di Taman Kanak-kanak (TK). Tidak di sekolah, masih berada di “Taman” yang seharusnya menjadi tempat bermain.
Kemampuan mengingat dan menirukan Ruri cukup bagus, namun masih polos pikirnya. Apapun yang didengarnya, ditirukan. Pernah suatu ketika, sekeluarga sedang serius menonton berita ditangkapnya salah satu Menteri tersangka korupsi, tiba-tiba Uwi maju ke depan televisi, menaruh tangannya di dada, dan berucap dengan nada menirukan orang dewasa,
“Saya prihatin,” ucapnya.
Sontak sekeluarga yang sedari tadi serius, langsung tertawa riuh. Itulah anak-anak, tanpa mempelajari dahulu dan memahami langsung menirukan dan berkomentar bak ahli. Tak ada yang marah atau gelisah akan ucapannya, semua tahu, adik kecil satu ini masih belum memahami apa yang diucapkannya. Apalagi yang ditirukan, mendengar ucapannya pun tidak, lha wong masih sibuk dengan followers media sosialnya.
Uwi tak punya facebook apalagi twitter, instagram, atau malah path. Paling-paling boneka, alat masak, dan rumah-rumahan dari plastik yang dimainkannya. Jangan khawatir, uwi cukup ahli dalam memainkan perannya. Kadang menjadi seorang koki yang sedang menjelaskan masakan pada Tita dan Uni, dua gadis umur 6 tahun yang tinggal di sebelah rumah, atau suatu ketika menjadi seorang ibu yang memasakan anak gadis kesayangannya, makanan kesukaannya.
Banyak ucapan pembawa berita diberinya komentar kalau sekeluarga sedang memutar channel TV spesialis berita.
“Kok itu kakaknya kakinya sakit gak ditolong malah ditanya-tanya” komentarnya ketika salah seorang wartawan berbaju merah mewawancarai korban bencana longsor yang sedang ramai di televisi, bahkan mengalahkan pemberitaan banyaknya menteri yang dibui.
“Gak boleh berantem, kalau mau dapat uang saku, bantuin ibu nyapu aja. Uwi dapat uang buat beli jajan kalau mau bantuin ibu,” kali ini gadis kecil ini berceloteh tentang demo para buruh yang mengangkat-angkat papan bertuliskan lambang mata uang kita. Gadis ini tak memahami apa itu Upah Minimum Regional, yang perhitungannya dulu dari nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang mana unsur parfum, kosmetik, dan menonton bioskop dimasukan kedalamnya -sehingga kalau tidak bisa pakai parfum dan nonton di bioskop, berarti masih hidup tak layak (?)- dan faktor lainnya yang tak jelas ukurannya. Sekarang diusulkan diubah dengan menambah presentase inflasi dan pertumbuhan ekonomi untuk menghitung kenaikan UMR tersebut. Anyway, Uwi tak sekalipun mengerti kata-kata tersebut, baginya, kalau mau dapat uang saku lebih, ya harus bantuin ibu, usaha.
Gadis kecil berusia 5 tahun ini memang menggemaskan, asal berkomentar bak ahli, kadang tak memahami apa yang dilontarkan, menertawakan kata hipokrit dan apatis, yang dia sendiri tak mengerti sedikitpun artinya, namun polos, jujur, namun rajin membantu ibunya bukannya merengek minta uang saku tambahan. Oh tunggu dulu, bukankah itu mirip kita? di bagian asal berkomentar, tak memahami apa yang dilontarkan, dan guyon atas hal yang sebenarnya membuat miris. Namun banyak dari kita yang seringkali melupakan kejujuran dan rajin berusaha, instead of, menuntut ini itu. Ah barangkali hanya penulis saja yang demikian.
Footnote
Hipokrit : hi·po·krit 1 a munafik; 2 n orang yg suka berpura-pura
Apatis : apa·tis a acuh tidak acuh; tidak peduli; masa bodoh: kita tidak boleh bersikap — thd usaha pembangunan Pemerintah
(sumber : http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php)

Minggu, 13 Juli 2014

Cacatan Diri: Mungkin ini saatnya kembali.



Siang itu, shaf-shaf masjid masih penuh di bagian dalam ruangan utama masjid di kompleks kantor. Imam sholat mulai beranjak dari duduknya mengambil mikrofon. Siang itu adalah salah satu hari di bulan ramadhan, masjid tak lagi sepi sehabis jamaah sholat. Imam sholat tadi berdiri mendekat di shaf terdepan.
“Jika bapak ibu diminta memilih untuk diuji dengan cobaan atau dengan kenikmatan, bapak ibu pilih yang mana?” ujarnya seusai salam dan mukaddimah.
Imam sholat jamaah yang biasa kita kenal sebagai ustad ini, memulai tausiyah yang memang di bulan ramadhan ini rutin digelar. Ustadz ini tidaklah seperti yang kita kenal, tak berbadan tambun, tak berbaju serba putih, dan tak ada rambut tumbuh subur di dagunya. Namun, ketika  beliau memulai, terlihat menarik untuk disimak.
“Halah gak usah jaim, pasti milih diuji dengan nikmat kan? Tahukah bapak ibu, kalau banyak yang gagal ketika diuji nikmat dan banyak yang berhasil ketika diuji dengan cobaan?”
Saat itu, aku tertegun mendengar argumentasi Sang Ustadz. Qarun, Namrud, dan Fir’aun gagal dalam ujian kenikmatan yang diberikan Tuhan. Mereka diuji dengan nikmat yang luar biasa, mungkin saja. Namun, ketika aku diuji sebagian kecil nikmat itu saja, nyaris berpaling dari sujud kepadaNya. Hari ini, aku tertegun kembali ketika ujian berupa cobaan justru member tamparan keras untuk mengalihkan wajah kembali bersujud.
Ayub, Nabi yang diuji dengan sakitnya yang menahun dan kemiskinannya yang sangat setelah mengecap kekayaan. Bahkan, sang istri memprotesnya karena beliau adalah Nabi, namun tak meminta kepada Allah akan kesembuhannya. Apa jawaban Nabi Ayub?
“istriku, berapa tahun aku diberi sakit ini?”
“Tujuh tahun, suamiku,” Sang Istri menanggapi tak tahu akan maksudnya.
“Dan berapa tahun aku diberi kekayaan dan kesehatan?
“Delapan tahun”
“Rasanya malu, aku meminta pada Tuhanku. Atas nikmat yang telah Dia berikan selama itu, dan aku baru diuji seperti ini sudah meminta kembali nikmatnya?”
Hari itu, Nabi Ayub menunjukan bagaimana beliau lolos dari ujian cobaan yang diberikan Allah tanpa sekalipun mengeluhkan kepada Tuhannya.
Ketika setiap jalan selalu ada tanjakan terjal, kita tentu mengharap semua baik-baik saja. Kita tak boleh gusar ketika menengok tetangga yang meluncur deras. Mungkin, ini jalan paling cepat menuju tujuan. Jalan terbaik yang tak pernah kita perkirakan. Kita hanya bisa berharap mengenai ini.
Hari ini, aku mengiyakan sepenuhnya apa pesan ustadz pada waktu itu. Ketika nikmat yang ada justru memalingkan muka dari sajadah, namun ketika cobaan datang bergantian menamparku untuk kembali menggelar sajadah, membuka kembali kitab 270 halaman yang berdebu, dan kembali duduk bersimpuh di hadapanNya, memohon segalanya. Waktu itu, Allah mencoba mengajariku bersyukur di tengah duka, tetap meminta padaNya dengan segala doa meski semua diberikan di depan mata. Tidak, Allah kini tak mencabut nikmat itu, hanya cobaan lain yang silih berganti mengingatkan. Malu dan rasa salah mengisi di setiap sujud. Bukankah Tuhan selalu menyanyangi kita bagaimanapun jua kita mengingkarinya?
Waallahu a’lamu bi  shawab.
Surabaya, 15 Ramadhan 1435 H




*kisah Nabi ayub merupakan ilustrasi penulis dari mendengarkan tausiyah.

Senin, 24 Maret 2014

Sepotong surat tentang kawan untuk kawan



Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..
Doaku untukmu, Sobatku.


Kawanku yang jauh disana,
Bolehkah saya sedikit bercerita tentang tiga orang yang secara ajaib dikumpulkan oleh surat resmi yang terdengar membosankan? Ah mungkin ceritamu lebih menarik, apalagi pengalamanmu di tempat yang jauh disana, tapi biarkanlah kali ini, saya bertutur tentang kumpulan anak ini. Sejenak luangkan waktumu untuk cerita membosankan ini.
Kumpulan anak yang kumaksud adalah tiga orang konyol yang dulunya sekelas semasa masih betah dengan kebosanan di kelas. Mereka punya sapaan akrab, Simbah, Cecep, dan Bogang. Si konyol yang terakhir disebut paling akhir ikut bergabung dengan mereka. Kali ini mereka berkumpul kembali dengan membawa tanggung jawab yang tak lagi berasal dari kedua orangtua mereka, namun dua organisasi besar.

Kau tahu, kawanku yang mengemban amanah disana,
ada organisasi yang biasanya mengawasi barang masuk dari Negara yang jauh disana, termasuk meminta upeti untuk Negara kita? Cecep inilah di organisasi itu, namun ia berada di balik mejanya untuk menyiapkan segala sesuatu kalau ada yang belum bisa menerima upeti yang harus dia bayar. Pengen berkunjung ke tempatnya? Ah, sayang sekali dia tak lagi disana. Ia kembali kedalam kotak kebosanan itu, tapi mungkin ini akan membuatmu tak menyangka sehebat apa ketika bertemu setelahnya. Si konyol kedua dan ketiga sekarang ini mengemban amanah yang sama untuk organisasi yang jadi tulang punggung Negara ini. Mungkin kau tahu organisasi yang seperti sopir truk yang diminta mengantar barang majikannya namun kurang begitu dipercaya. Truknya mungkin dapat menempuh kecepatan tinggi namun BBM yang diberi terbatas sampai di tempat tujuan atau bahkan kurang, begitupula oli dan angin bannya, padahal sepanjang jalan tak ada bengkel, pom bensin, atau tukang tambal ban. Ah, kita bahas ini nanti kalau kau kemari.

Kawanku, kau suka berpetualang, bukan?
Ketika mereka mulai datang di kota ini, hanya dua orang yang pertama kusebutkan tadi yang berkumpul dahulu, yang ketiga, mungkin akan kuceritakan lain kali kalau sempat. Bertiga mereka suka buat keramaian kalau berkumpul dengan teman-teman mereka. Simbah ini boleh dibilang kalau kita gabung Ted Mosby, dan Peter Griffin ditaruh di kuali Severus Snape ketika buat Ramuan Polijus terus dimasukkan kedalam tubuh Sherman. Booom..! Muncullah pria berkacamata yang tak akan menemukan ukuran sepatunya di kategori dewasa. Dia dengan tiba-tiba bisa secara jenius menciptakan sholat subuh 5 kali di luar waktu shalat itu. Manchester United diakunya klub sepakbola favoritnya, namun sebiji jersey pun tak pernah nempel di badannya, nggak percaya? Kalau si Cecep ini, kau tak akan mengira kalau dibalik motornya, tubuhnya tak lebih tinggi dari si konyol ketiga. Mengalami pertumbuhan (pertumbuhan = tambah kesamping,red) yang luar biasa selama ini, namun tetap semangat 45 untuk urusan sepakbola atau futsal. Penggemar salah satu klub London Utara yang identik dengan ayam, bisa dibilang fanatik. Bahkan kaosnya pun dari sponsor resmi jersey klub itu, yang original. Bogang, well, nothing’s to say about him.
Cerita tentang mereka, alangkah baiknya dari tempat mereka berkumpul, rumah kos. Tempat ini tidak akan menemukan kedamaian kalau mereka ada. Mereka tertawa membangunkan Rumah Kos yang penghuninya sibuk dengan kamarnya oleh jokes Sheldon, yang saya sendiri tidak tahu dimana lucunya. Bagi saya, yang penting bisa tertawa, kalau tidak mengerti, tinggal lihat yang lainnya tertawa, pasti ikut tertawa. Atau ketika Griffin Family mulai berulah, meledaklah lagi tawa mereka. Tapi kadang ruangan mengheningkan cipta ketika Ned Stark menghembuskan nafas terakhir dengan menyedihkan. Kadang mereka menahan nafas melihat Daenerys dengan tenang berucap “Dracarys..” dan Kota Astapor luluh lantak seketika. Mereka kadang dengan pedenya menganggap cerita Theodore Evelyn Mosby tak beda jauh karakternya dengan pria berkacamata dari ramuan polijus tadi. Well, what happens in Tardis, stays in Tardis,The Doctor bilang begitu.

Kau tahu kawanku tentang perjalanan mereka?
Ketiga orang ini bersama beberapa lainnya berjalan lebih dari 6 jam tanpa isitirahat di malam harinya untuk melihat keindahan Ranu Kumbolo. Turns out, mereka malah menemukan Sleeping Bag, Sholat Subuh 5 kali di tengah terik Matahari (tidak patut dicontoh), dan salut bagi pemula berhasil sampai kembali ke Ranu Pane dengan segar bugar (termasuk zombie segar bugar). Mereka bertiga juga dengan tiba-tiba berada di Pantai Papuma, dan hal yang penting terjadi disana malah rapat kecil untuk melobi seorang ibu untuk keperluan next trip mereka. Mereka juga salah satu dari yang meringkuk di batuan Gunung Ijen karena berada disana terlalu pagi sedangkan cuaca kurang berkawan. Ah masih banyak lagi cerita lainnya, misalnya mereka lebih suka jalan berbatu yang hampir sulit dilewati di pinggir jurang daripada jalan mulus di Pacet.

Oiya, mungkin tepat setahun yang lalu, pria berkacamata tadi harus terpacu adrenaline-nya ketika nyaris tenggelam untuk mendapat bingkisan yang kegedean hasil kerja keras si Cecep, sedangkan satunya, ketawa ngikik di belakang perahu ketika meninggalkan Pulau Menjangan, tempat saudara kita Umat Hindu bersembahyang. Well, hari ini dia mungkin sedang kasmaran, kalau orang bilang, menikmati waktunya. Cecep, mungkin saat ini disibukkan dengan paper, makalah, atau presentasi dan mungkin a little bit kegalauan meninggalkan kota ini. Bukan, bukan karena dua yang lainnya, namun harusnya masa kasmarannya digantikan dengan, apa namanya kawan hubungan yang lagi ngetren itu? Ya bener, LDR. Apa? Kau tanya yang terakhir? Tak perlulah, karena dia masih belajar urusan waktu kita kelas 1 SD, yep, membaca dan menulis.

Maaf sekali kawan, kertasku sudah habis, lain kali kita sambung cerita mereka, masih panjang kalau diceritakan detailnya. Atau mungkin cerita lainnya, tentang orang ketiga? Kalau aku malah lebih ingin mendengar ceritamu disana. Kutunggu kisahmu, kawan. Kalau sempat kita bisa duduk bersama mendengarmu bercerita, di dingginnya udara gunung, dengan ditemani kopi panas berasap.



Wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh,
kututup ini dengan do’a untukmu.

Kawanmu yang cukup beruntung,





Dedicated to my two awkward friends who are pursuing their dreams. This is my goodbye for March 8, 2014 and birthday present. 

Senin, 17 Maret 2014

Memperoleh Sebuah Buku Adalah Hari Raya



Ketika terlintas kata ‘Buku’,  yang terpikirkan oleh Antok adalah barang mahal kecuali buku pelajaran wajib dari sekolah atau lebih dikenal dengan buku paket . Tinggal di sebuah desa yang merupakan jalur utama penghubung dua kabupaten, tak lantas membuat keluarganya dengan mudah mendapatkan akses buku. Baginya memperoleh sebuah buku, membuatnya girang bukan kepalang. Namun sepertinya hanya fatamorgana di tengah berkembangnya daya khayal anak usia SD ini.
Antok adalah salah satu dari sekian ratusan anak yang tinggal di sebuah desa yang menjadi penghubung kabupaten penghasil minyak bumi dan kerajinan ukiran kayu, kabupaten asal keripik tempe, dan kabupaten yang punya helipad hanya karena Pak Presiden mau meresmikan salah satu entitas asing panen akan minyak bumi di daerah tersebut. Baginya, tetek bengek minyak bumi di dalam tanah yang dipijaknya bukanlah sesuatu yang akrab dengannya. Tempat dia bersekolah sebenarnya termasuk yang cukup bagus di kecamatannya, selain terletak di pusat kecamatan. Namun, bukan berarti bangunan yang bernama perpustakaan akan ditemui disini. Para Dewan Guru dan Wali Murid baru saja bersepakat membangun toilet –mereka sepakat pula ini lebih pentingdan urgent- alih-alih membangun Perpustakaan bagi anak didiknya. Begitulah cara pandang mereka pada pendidikan buah hati mereka.
Menyebut kesulitan ekonomi dalam kehidupan keluarga Antok, rasanya seperti ketika menyebut ‘udara’ dalam ‘bernafas’. Setiap hari selalu dihadapkan dengan pilihan untuk mengisi perut atau hal lainnya. Tentu saja semua sepakat kalu urusan perut harus didahulukan, karena meski dalam berpuasa pun selalu ada berbuka, yang tak lain urusan perut lagi. Begitu pula ketika ibunya dihadapkan pilihan antara memanjakan imajinasi anaknya melalui buku atau untuk urusan perut, si anak akan legowo dengan pilihan ibunya. Memangnya ada pilihan lain?
Namun si anak tidaklah semalang yang dibayangkan. Ibunya cukup cerdas dalam menyediakan kesempatan si anak dalam mengembangkan imajinasinya. Dalam setiap belanja kebutuhan bahan pokok, secara khusus beliau berpesan kepada pemilik toko untuk memakai bungkus kertas dari majalah anak. Saat itu, Bobo dan Mentari  adalah kertas pembungkus yang paling dinanti si anak. Bagi Sang Ibu, dengan adanya pembungkus ini, barang belanjaan secara otomatis akan dibongkar begitu Ia datang, tanpa butuh komando. Beliau ikut tersenyum senang melihat anaknya girang memperoleh lembaran majalah itu. Mungkin ketika lembaran itu dibaca, sudah lama sejak diterbitkan namun toh tidak mengurangi euphoria si anak karena bukan majalah tentang gaya hidup. Lagipula, si anak bukanlah penghamba mode dan tren saat itu. Justru yang menarik ketika kertas pembungkus tidak menyajikan cerita lengkap, khayalan si anak akan tergelitik menyelesaikan cerita atau curiosity si anak akan terangsang sehingga selalu berdebar tiap menerima lembaran bungkus yang baru. What kind of story will be this time? Begitu kira-kira otaknya berputar seiring tangannya membuka bungkus belanjaan.
Hari Raya adalah ketika ibunya mengajaknya berburu kertas bekas untuk bungkus barang dagangannya di penjual kertas bekas. Disinilah tempat dia mendapat versi utuh majalah yang akan dihitung dengan satuan kilogram bukannya eksemplar. Terkadang penjualnya harus melebihi timbangannya agar tak ada halaman yang terpotong, kalau kebetulan sedang berbaik hati.
Tidak setiap lembaran dan majalah kiloan tersebut berisi yang dinanti oleh si anak. Paling sial, ketika ready stock  isinya adalah Majalah Jawa, Jayabaya. Kening si anak akan berkerut-kerut tak karuan untuk menuntaskan sepotong kertas pembungkus. Namun tetap saja itu dilahapnya, karena hanya itu yang ada.
Minat si anak benar-benar terpenuhi ketika menginjak jenjang SMP. Sekolah ini memiliki perpustakaan yang cukup besar dan koleksi buku yang banyak.  Saking senangnya dan mungkin sedang masa euphoria, berbagai jenis ensklopedia mulai dari tentang momen eureka ketika Archimedes bertelanjang bulat sampai berbagai hewan melata di seluruh dunia diboyongnya di rumah. Entah bagaimana dia berhasil membujuk penjaga perpusatakaan sampai memperoleh buku yang masuk kategori ‘HANYA BOLEH DIBACA DI TEMPAT’.
Beruntunglah kalau sekarang mengakses buku semudah memperoleh permen. Apalagi pilihan bukunya pun seperti memilih rasa permen, selalu ada yang baru. Sungguh sayang kalau cahaya pendar dari kotak elektronik itu menyilaukan anak-anak dari berlembar-lembar imajinasi tak terbatas dalam sebuah buku.

Legenda:
Jayabaya         : Majalah berbahasa jawa, kadang ada artikel pakai aksara Jawa
Bobo               : Majalah Anak
Mentari           : Majalah Anak

Rabu, 01 Januari 2014

Hari Raya segala Umat



Kembang api, simbolisme terkait erat dengan perayaan
Hari pertama setiap tahun masehi , sering kita peringati sebagai tahun baru. Meski saya belum tahu pasti artinya buat saya. Mala ini, saya sedikit tercengang melihat lingkungan. Melihat gang-gang, lorong-lorong, dan jalan-jalan sempit di Surabaya begitu banyak yang berkumpul berwajah sumringah, apalagi penjual terompet. Terbersit pertanyaan, apa yang sebenarnya mereka peringati?

Di beberapa pusat kegiatan Rukun Tetangga (RT) ada yang bernyanyi-nyanyi atau menyalakan musik keras-keras. Di pingir-pinggir jalan banyak orang berkumpul, berbagai acara digelar pemerintah maupun selain pemerintah, konvoi kendaraan bermotor, anak-anak maupun orang tua bersepeda riang. Apa yang mereka rayakan? Apa yang mereka begitu percayai sampai begitu sumringah bahkan Idul Fitri pun kalah gaduhnya. Dalam budaya kita, apakah ada kepercayaan yang berkaitan dengan tahun baru? Lalu, mengapa harus dengan meniup terompet? Saya belum pernah mengenal adanya kepercayaan atau mitos-mitos yang berkaitan dengan tahun baru masehi. Atau mungkin saya kurang belajar, ah rasanya memang tidak ada kecuali memang untuk agama tertentu. Namun ini kan dirayakan semua orang?
Lautan manusia merayakan hari raya ini
Saya mencoba mencari tahu kepercayaan-kepercayaan yang ada tentang tahun baru di Negara lain. Jepang, misalnya. Ōmisoka adalah sebutan untuk malam tahun baru dan Oshogatsu adalah sebutan untuk tahun baru itu sendiri. Ada penghormatan terhadap arwah leluhur yang dipercaya memberi berkah dan kelimpahan sepanjang tahun. Penghormatan ni diwujudkan melalui berbagai bentuk ornament khas tahun dengan berbagai makna dan tujuan serta makanan, seperti toshikoshi soba (soba kuah melewatkan tahun) yang merupakan simbolisme dari harapan hidup sehat, damai, dan panjang umur. Selain itu, perayaan ini dilakukan dalam bentuk kunjungan ke kuil dan mengirimkan kartu ucapan selamat. Ada juga pemukulan genta sebanyak 108 kali di kuil-kuil Buddha menjelang pergantian tahun dimana angka 108 memiliki makna jumlah nafsu, satu tahun, dan penderitaan besar (shiku-hakku). Semua tetekbengek ini  memiliki arti dan tujuan sesuai yang mereka percaya. Adakah kita?

Sejenak saya kemudian menuju keramaian yang diadakan oleh pemerintah setempat. Jalan yang tiap harinya selalu padat, kini disulap menjadi berbagai panggung hiburan, stand-stand jualan, dan tempat berbagai macam orang tumpah ruah di jalan. Ya, berbagai macam orang. Disana ribuan orang menyatu, sumringah, tanpa ada sekat sama sekali. Tidak ada barikade petugas keamanan yang mengawal perayaan itu dari ancaman golongan tertentu, hanya beberapa personel yang menyebar untuk mencegah tindak kriminal dan kerusuhan dari dalam kegiatan itu sendiri. Saya tidak juga menemukan spanduk-spanduk yang mengutuk atau mengharamkan perayaan ini, mungkin semua sudah menyatu. Tidak terdengar pula berita perusakan terhadap tempat pusat-pusat perayaan ini. Tidak ada orang yang saling tuding menuduh kelompok lain dengan murtad dan kafir. Mungkin hanya ada polisi yang berjanji akan merazia knalpot ‘brong’ karena menuduh itu biang kegaduhan. Atau sedikit kegaduhan karena padatnya jalan sempit oleh orang yang ingin segera pulang dengan wajah yang lelah.

Saya berpikir sejenak. Ah, mungkin inilah Hari Raya Segala Umat. Tidak ada Sidang Isbat dan perdebatan mengenai kapan, tidak ada kelompok yang saling mengganggu perayaannya, dan peran pemerintah begitu dielu-elukan dalam menyelenggarakan perayaan ini. Semua umat merayakannya.

Sepanjang jalan, saya banyak bertemu kendaraan konvoi dengan knalpot ‘brong’.
Ah mungkin Pak Polisi merasa lumrah, toh ini kan sedang hari raya semua umat.
Banyak pula yang mengabaikan rambu lalu lintas dan traffic light.
Ah, ini kan sedang hari raya semua umat.
Pengendara motor mulai mengabaikan keselamatan dengan tanpa memakai helm.
Ah, lagi-lagi ini kan sedang hari raya semua umat.

Ada juga pengendara motor yang ketika terjebak macet, sejenak meraih handphone-nya, mengarahkan bagian depannya ke wajahnya, dan jepret sekilas lampu flash menyambar. Selfie, kata orang. Toh ini kan sedang hari raya semua umat, semua boleh merasa bebas melakukan apapun.

Ah, saya mungkin saja salah tentang semua ini. Toh saya sering juga salah. Tapi begitulah yang saya lihat. Selamat datang tahun 2014, banyak catatan cacat diri yang belum sempat ditulis.
Mungkin orang yang saya temui di SPBU ini yang memiliki kepercayaan kuat tentang tahun baru.
Sumber : wikipedia 1 ; Wikipedia 2 ; Sumber 3 dan Salah satu paper arsip dari UPI