Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Minggu, 01 Desember 2013

Ocehan di Kala Hujan I

Share
Sore ini ditemani gemuruh hujan menjelang maghrib. Cuaca yang sama sepuluh tahun lalu terasa berbeda, tak ada sepi menggelayuti. Ketika itu, rumah terasa hangat di tengah gemuruh hujan. Hujan selalu membawa nuansa tersendiri bagi kami. Bukan karena playlist yang diputar -karena saat itu kami tak punya-. Apabila mampir, akan ada sepetak tanah pinggir rumah yang terasa sejuk dibawah pohon-pohon yang kami tanam dari biji apapun yang dapat kami peroleh. Tak perlu ke Dieng yang penuh lahan kentang atau Kota Batu yang terkenal apelnya dan cuaca yang dingin untuk merasakan kesejukan yang sama. Halaman itu terasa lebih indah setelah indahnya padang Anaphalis Surya Kencana. Rindang pohon itu adalah pohon nangka yang saat itu buahnya di cabang yang tinggi, tak seperti sekarang yang anak berusia 8 tahun pun bisa memetiknya. Di musim hujan seperti ini, ada juga pohon srikaya yang mulai berbuah. "Ingat, kalau mau mengambil, lihat apakah kulitnya sudah terlihat jarang, tapi jangan tunggu sampai empuk atau akan keduluan sama kalong atau hewan lainnya," pesan ibu suatu ketika. Ada juga pohon mundu yang sampai sekarang tak kunjung berbuah. Entah kenapa. Pohon pisang sebenarnya menjadi pendahulu lainnya, namun sekarang menjadi kaum minoritas, mirip suku aborigin di Australia atau suku Indian di Benua Amerika.

Hujan kala itu merasa tak sungkan masuk ke rumah kami tanpa kulo nuwun. Air-air itu menetes tanpa memperdulikan gerutuan kami yang berlari kesana kemari sambil membawa ember atau bakul. Saat itu, hujan membawa keriangan bagi seusia saya di tengah gemuruhnya. Kadang kami menikmatinya hanya dengan berlari-lari, memperbaiki saluran air, atau berlari sambil mencari bajangan  atau kalau beruntung dapat yang sudah masak. Kadang kalau ada yang tak rela akan mangganya, kami harus berlarian menghindari yang punya. Tak pernah kami berpikiran pasal pencurian atau penganiayaan apalagi sampai lapor polisi. Mungkin hanya tawa kami yang semakin riuh.

Pernah juga kurang beruntung bisa menikmati tawa di luar rumah, selesai menata saluran air hujan, kami sekeluarga biasa berkumpul menertawakan keadaan kami. Banyak guyonan kala itu yang mungkin bisa jadi bit bagi para komik. Biasanya ibu berbaik hati menyajikan rebusan singkong yang luar biasa rasanya saat itu. Tak ada playlist hujan saat itu. Saya pun belum mengenal Desember-nya Efek Rumah Kaca. 

Itulah kesejukan sekaligus kehangatan yang tak akan lagi saya temukan. Tidak juga di riuhnya camp ground Ranu Kumbolo,atau hangatnya matahari pagi Danau Taman Hidup setelah empat hari dihempas badai.

0 comments:

Posting Komentar